Senin, 19 Mei 2008

PASAR BEBAS DAN GLOBALISASI

Banyak di antara kita terpaku pada bapak pasar bebas dan persaingan bebas,sekaligus sebagai bapak ilmu ekonomi, Adam Smith (1723-1790), dengan bukunya An Inquiry into Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Menurutnya, pasar bebas berdasar kebebasan inisiatif partikelir (freedom of private initiative) akan melahirkan efisiensi ekonomi maksimal melalui pengaturan "tangan tak tampak" (invisible hand).
Pengaturan oleh "tangan tak tampak" adalah pengaturan melalui mekanisme bebas permintaan dan penawaran, atau mekanisme pasar bebas berdasar free private enterprise, yang oleh Paul Samuelson, pemenang hadiah Nobel bidang Ekonomi (1970), disebut competitive private-property capitalism.
Para ekonom meyakini keabsahan teori Adam Smith ini. Di Indonesia, topik pasar bebas dan persaingan bebas sebagai bentuk pasar ideal terpampang resmi dalam silabus Pengantar Ilmu Ekonomi sebagai academic blue-print dari konsorsium ilmu ekonomi. Topik ini merupakan bagian dari kuliah wajib yang harus diikuti oleh mahasiswa di fakultas ekonomi di Indonesia yang menganut sistem demokrasi ekonomi.
Sedangkan menurut Teori Imajiner Tiga ciri pasar persaingan sempurna (perfect competition), bebas keluar/masuk (free entry/free exit), jumlah besar (large number), dan produk homogen (homogeneous product), telah dihafal oleh mereka yang mempelajari ilmu ekonomi tanpa menyadari bahwa dalam free entry/free exit terkandung paradigma liberalisme-yang dalam tata pi-kir Indonesia tidak sesuai dengan hakikat Demokrasi Ekonomi. Free entry yang berarti bebas masuk kegiatan usaha apa pun berarti bebas menggusur yang lain dengan daya saingnya yang lebih tangguh dan unggul, sedangkan free exit berarti terpaksa exit (bangkrut atau kalah bersaing).
Teori pasar dengan persaingan sempurna dikembangkan secara fantastis. Distorsi pasar, baik teknis, kelembagaan, maupun sosio-kultural, oleh text-book diasumsikan tidak ada; yang dikatakan sebagai alasannya ialah for the sake of simplicity.
Pengembangan teori berjalan berdasar validitas teoretikal, yakni asumsi di atas asumsi dan aksioma di atas aksioma. Padahal paradigma seperti yang dikemukakan oleh ekonom dari Inggris, Joan Robinson (1903-1983), telah mengelabui kita dalam pengembangan teori ekonomi.
Teori yang ada dapat saja berkembang konvergen, tetapi bisa semakin divergen terhadap realitas. Para pengabdi ilmu-yang belum tentu adalah pengabdi masyarakat-dapat saja terjebak ke dalam divergensi ini.
Banyak ekonom dan para analis moneter menjadi simplistis mempertahankan ilmu ekonomi Barat ini dengan mengatakan bahwa kapitalisme telah terbukti menang, sedangkan sosialisme telah kalah telak. Pandangan yang penuh mediokriti ini mengabaikan proses dan hakikat perubahan yang terjadi, mencampuradukkan antara validitas teori, viability sistem ekonomi, kepentingan dan ideologi (cita-cita), serta pragmatisme berpikir.
Adam Smith kelewat yakin akan kekuatan persaingan. Teori ekonominya (teori pasar berdasar hipotesis pasar bebas dan persaingan sempurna), sempat mendikte umat manusia sejagat dalam abad ini untuk terus "bermimpi" tentang kehadiran pasar sempurna.
Banyak di antara kita terpaku pada bapak pasar bebas dan persaingan bebas, sekaligus sebagai bapak ilmu ekonomi, Adam Smith (1723-1790), dengan bukunya An Inquiry into Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Menurutnya, pasar bebas berdasar kebebasan inisiatif partikelir (freedom of private initiative) akan melahirkan efisiensi ekonomi maksimal melalui pengaturan "tangan tak tampak" (invisible hand). Pengaturan oleh "tangan tak tampak" adalah pengaturan melalui mekanisme bebas permintaan dan penawaran, atau mekanisme pasar bebas berdasar free private enterprise, yang oleh Paul Samuelson, pemenang hadiah Nobel bidang Ekonomi (1970), disebut competitive private-property capitalism.
Para ekonom meyakini keabsahan teori Adam Smith ini. Di Indonesia, topik pasar bebas dan persaingan bebas sebagai bentuk pasar ideal terpampang resmi dalam silabus Pengantar Ilmu Ekonomi sebagai academic blue-print dari konsorsium ilmu ekonomi. Topik ini merupakan bagian dari kuliah wajib yang harus diikuti oleh mahasiswa di fakultas ekonomi di Indonesia yang menganut sistem demokrasi ekonomi. Dalam bidang ekonomi, reformasi tidak mencapai hasil karena keengganan mengoreksi kebijakan dan strategi yang keliru, termasuk teori yang mendasarinya. Para teknokrat bersikukuh tidak ada yang salah dalam teori ekonomi yang diacu untuk menyusun kebijakan. Menurut mereka, yang salah adalah pelaksanaannya. Tak ayal, pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi (2001), Joseph E Stiglitz, secara tegas menyatakan, "Textbook economics may be fine for teaching students, but not for advising governments... since typical American style textbook relies so heavily on a particular intellectual tradition, the neoclassical model." (Chang Ha-Joon, Stiglitz and the World Bank: The Rebel Within, 2001:130).
Teori Imajiner
Tiga ciri pasar persaingan sempurna (perfect competition), bebas keluar/masuk (free entry/free exit), jumlah besar (large number), dan produk homogen (homogeneous product), telah dihafal oleh mereka yang mempelajari ilmu ekonomi tanpa menyadari bahwa dalam free entry/free exit terkandung paradigma liberalisme-yang dalam tata pi-kir Indonesia tidak sesuai dengan hakikat Demokrasi Ekonomi. Free entry yang berarti bebas masuk kegiatan usaha apa pun berarti bebas menggusur yang lain dengan daya saingnya yang lebih tangguh dan unggul, sedangkan free exit berarti terpaksa exit (bangkrut atau kalah bersaing).
Teori pasar dengan persaingan sempurna dikembangkan secara fantastis. Distorsi pasar, baik teknis, kelembagaan, maupun sosio-kultural, oleh text-book diasumsikan tidak ada; yang dikatakan sebagai alasannya ialah for the sake of simplicity. Pengembangan teori berjalan berdasar validitas teoretikal, yakni asumsi di atas asumsi dan aksioma di atas aksioma. Padahal paradigma seperti yang dikemukakan oleh ekonom dari Inggris, Joan Robinson (1903-1983), telah mengelabui kita dalam pengembangan teori ekonomi.
Teori yang ada dapat saja berkembang konvergen, tetapi bisa semakin divergen terhadap realitas. Para pengabdi ilmu-yang belum tentu adalah pengabdi
masyarakat-dapat saja terjebak ke dalam divergensi ini. Banyak ekonom dan para analis moneter menjadi simplistis mempertahankan ilmu ekonomi Barat ini dengan mengatakan bahwa kapitalisme telah terbukti menang, sedangkan sosialisme telah kalah telak.
Pandangan yang penuh mediokriti ini mengabaikan proses dan hakikat perubahan yang terjadi, mencampuradukkan antara validitas teori, viability sistem
ekonomi, kepentingan dan ideologi (cita-cita), serta pragmatisme berpikir.
Adam Smith kelewat yakin akan kekuatan persaingan. Teori ekonominya (teori pasar berdasar hipotesis pasar bebas dan persaingan sempurna), sempat mendikte umat manusia sejagat dalam abad ini untuk terus "bermimpi" tentang kehadiran pasar sempurna.
Lalu lahirlah berbagai kebijakan ekonomi, baik nasional maupun global, berdasarkan pada teori pasar bebas dan persaingan sempurna. Teori imajiner yang
dikemukakan oleh Adam Smith hingga kini dianut sebagai "pedoman moral" demi
menjamin kepentingan tersembunyi para partikelir.
Globalisasi dan IMF
Keprihatinan pada pasar bebas dan persaingan sempurna menemukan momentumnya ketika beberapa negara di Asia dilanda krisis moneter (1997). Krisis moneter ini menyadarkan kita dari "mimpi" Adam Smith bahwa teori pasar bebas berdasar freedom of private initiative dan globalisasi sesungguhnya tidak bekerja untuk menciptakan stabilitas ekonomi global. Sebaliknya, kebijakan globalisasi cenderung menjadi momok bagi negara berkembang.
Bagi sebagian orang, ada jawaban yang mudah: tinggalkan globalisasi. Tetapi hal ini tidaklah mungkin, sebab globalisasi juga membawa sejumlah manfaat-keberhasilan Asia Timur didasarkan pada globalisasi, khususnya peluang perdagangan dan meningkatnya akses ke pasar global serta sains dan teknologi.
Masalahnya bukan pada globalisasi itu sendiri, tetapi bagaimana globalisasi tersebut dikelola secara wajar dan fair. Lebih lanjut, Joseph E Stiglitz melalui bukunya Globalization and Its Discontents (2002) menegaskan bahwa sebagian besar permasalahan ada pada lembaga ekonomi dunia seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO. Lembaga inilah yang membantu membuat aturan mainnya (berdasarkan kepentingan dan ideologi politiknya). Mereka melakukannya dengan cara yang acap kali mendahulukan ke- pentingan negara industri maju daripada negara berkembang.
Upaya IMF yang kurang berhasil pada tahun 1990-an menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai cara lembaga restrukturisasi finansial dunia ini memandang globalisasi sebagai bagian dari misinya. IMF, misalnya, yakin bahwa ia telah menjalankan tugasnya, yakni mendorong stabilitas global serta membantu negara berkembang yang sedang dalam transisi untuk mencapai stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Namun, berbagai pihak menilai bahwa IMF telah gagal dalam misinya. Kegagalan tersebut bukan hanya kebetulan, namun sebagai akibat dari pemahaman terhadap misinya yang keliru (baca: salah). Ucapan Presiden General Motors (GM), Charles E Wilson, "Apa yang baik untuk GM adalah baik untuk negeri ini," menjadi simbol kapitalisme Amerika Serikat. IMF juga memiliki cara pandang yang sama: "apa yang dipandang baik oleh komunitas keuangan global adalah baik untuk perekonomian global dan harus dilakukan."
Dalam beberapa hal benar, tetapi dalam banyak hal tidaklah demikian. Pada sisi lain, apa yang dianggap komunitas global sebagai kepentingannya sebenarnya
tidak demikian karena ideologi pasar bebas telah menutupi pemikiran yang jernih
tentang bagaimana cara terbaik mengatasi penyakit ekonomi.
Ada konsistensi logika dalam konsepsi John Maynard Keynes (1883-1946), godfather intelektualnya IMF, mengenai IMF dan perannya. Keynes mengidentifikasi kegagalan pasar-yang merupakan alasan mengapa pasar tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri-dapat diperbaiki melalui tindakan kolektif berskala global. Kegagalan pasar lainnya, dalam krisis yang buruk kebijakan moneter dapat tidak efektif seperti krisis yang melanda Indonesia pada 1997/1998.
Keynes tidak hanya mengidentifikasi sejumlah kegagalan pasar, namun juga menjelaskan mengapa sebuah lembaga seperti IMF dapat mengatasi masalah. Cara yang ditempuh IMF ialah dengan menekan pemerintah untuk mempertahankan perekonomiannya pada tingkat kesempatan kerja penuh. Dalam hal ini IMF juga memberikan bantuan likuiditas bagi negara yang mengalami krisis dan tidak mampu melakukan kenaikan yang signifikan dalam pengeluaran pemerintah, sehingga aggregate demand secara global dapat ditopang. Berdasarkan pada perspektif ekonomi mikro, munculnya pandangan yang menghendaki Indonesia segera melepaskan diri dari perikatannya dengan IMF. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kelanjutan ikatan dengan lembaga ini hanya akan merugikan Indonesia. Ketika krisis moneter melanda Indonesia (1997/ 1998), kita terpaksa menjadi pasien IMF-yang kemudian menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Bahwa manfaat yang diberikan perikatan dengan IMF tersebut, jauh lebih kecil dari kerugian yang akan diderita bangsa Indonesia bersama generasi selanjutnya. Selain terjadi ketergantungan semakin kuat kepada lembaga keuangan ini, ekonomi Indonesia ternyata berkembang ke arah yang salah-satu hal yang secara simplistis sesungguhnya pernah diakui oleh petinggi IMF sendiri-di samping menjadikan Indonesia sebagai negara pengutang terbesar di dunia. Tetapi sekarang ini para fundamentalis pasar yang mendominasi IMF percaya, bahwa pasar pada umumnya berjalan dengan baik dan pemerintah pada umumnya berjalan dengan sangat buruk. Inkonsistensi di tubuh IMF bermasalah bila dipandang dari perspektif kemajuan teori ekonomi dalam tiga dasawarsa terakhir. Profesi ekonomi telah mengembangkan sebuah pendekatan yang sistematik terhadap "teori kegagalan pasar akibat tindakan pemerintah" ini. Harapan dan Kenyataan
Rasanya kita perlu mengingat kembali kepada pemenang Nobel bidang Ekonomi (1974), Gunnar Myrdal (1898-1987), melalui karya monumentalnya, An American Dilemma: the Negro problem and modern democracy (1944), sebuah studi sosiologi; dan Asian Drama: an inquiry into the poverty of nations (1968), yang membahas masalah ekonomi di negara berkembang. Melalui kedua masterpiece-nya ini, Myrdal membahas prinsip kausalitas kumulatif, interaksi variabel ekonomi dengan non-ekonomi, dan sederet sumbangan penting lainnya dalam teori ekonomi-politik. Namun kontribusi utama Myrdal dalam teori ekonomi ialah tentang penajaman perbedaan antara perkiraan (ex ante) dan kenyataan (ex post).
Adakah korelasi antara teori Myrdal dan globalisasi? Dalam konteks sosial, ekonomi-politik, kultural, dan hukum terdapat hubungan saling silang yang sangat menarik. Ada keterkaitan antara harapan dan kenyataan. Myrdal mengangkat teori ekonomi dari persamaan dengan ilmu mekanika klasik dan menempatkannya dalam suatu tataran tersendiri.
Ada aspek lain yang lebih penting dalam pembedaan antara ex ante dan ex post, yakni membedakan perubahan "terantisipasi" dengan perubahan yang "tidak terantisipasi." Karena itu, pembentukan ekspektasi dalam ketidakpastian dapat dibagi atas dua bagian, yaitu ex ante (penghitungan awal suatu periode) dan ex post (penghitungan pada akhir periode).
Namun yang terpenting pada semua pendekatan dalam teori ekonomi yang mengandung unsur ketidakpastian juga terbagi atas dua kelompok, yakni pendekatan ex ante yang menerangkan bagaimana ekspektasi menentukan besaran variabel ekonomi serta pendekatan ex ante dan ex post yang sekaligus menjelaskan perbedaan antara harapan dan kenyataan.
Dengan mengusung teori Myrdal ini timbul pertanyaan di hadapan kita demikian: apakah pasar bebas dalam globalisasi memiliki aspek lain yang lebih penting dalam pembedaan antara ex ante dan ex post, yakni perbedaan antara harapan dan kenyata- an?
Vietnam memang akhir-akhir ini mengalami kemajuan yang pesat,
pertumbuhan ekonominya sekitar 8% per tahun. Di Ho Chi Minh City
(dahulu dinamakan Saigon) orang dapat merasakan denyut pembangunannya
seperti pembangunan infrastruktur, kawasan industri dan perumahan
baru yang sedang dalam konstruksi.
Pada saat kini memang sepeda motor mendominasi jalan-jalan di kota Ho
Chi Minh ini, bahkan mungkin labih banyak daripada di Jakarta, hanya kendaraan mobilnya memang kalah banyak jumlahnya dibandingkan dengan
Jakarta. Tetapi diprediksikan keadaan ini akan berubah di masa depannya, maka itu Kota Ho Chi Minh sekarang sedang menyiapkan diri untuk mengantisipasi kedepannya seperti sistim transportasi umum Monorail dan
Metro yang direncanakan serta pengembangan kawasan kota baru. Airport Internasional Tan Son Nhat yang saat kini sudah diluaskan dan sangat modern arsitekturnya, bahkan direncanakan akan diganti dengan airport yang lebih baru dan besar lagi.
Dapat disebutkan bahwa konsep pembangunan di Vietnam hampir
mengikuti konsep dan strategi pembangunan di Tiongkok, mereka
mempelajari pengalaman pembangunan di Tiongkok selama ini, mengambil segi positifnya, dan menyesuaikan dengan kondisi konkrit negaranya.
Pada tahun 1986, pemerintah Vietnam (Socialist Republic of Vietnam) mereformasi perekonomiannya yang dikenal dengan nama "Doi Moi" (era baru), yaitu dengan menerapkan sistim perekonomian pasar bebas (free market economy) sehingga sektor swasta dapat berkembang. Sejak itu banyak investor luar negeri menanamkan modalnya disana seperti Jepang, Korea, Tiongkok, Taiwan, Amerika, Singapura dan Malaysia (seperti Berjaya Group) dll. Selain itu jaga banyak orang Vietnam perantauan (overseas Vietnamese dan Tionghoa Vietnam) yang disebut Vietkhieu membawa uang dan menanamkannya ke Vietnam kembali. Kemiripan dengan situasinya di Tiongkok selain menganut pasar bebas adalah pengaruh dominasi Partai tunggal yaitu partai komunisnya di kedua negara tersebut. Walaupun sistim pemerintahannya Lalu lahirlah berbagai kebijakan ekonomi, baik nasional maupun global, berdasarkan pada teori pasar bebas dan persaingan sempurna. Teori imajiner yang dikemukakan oleh Adam Smith hingga kini dianut sebagai "pedoman moral" demi menjamin kepentingan tersembunyi para partikelir.
Dewasa ini produk-produk Cina gencar memasuki pasar ekspor di banyak negara. Produk-produk Cina tidak hanya masuk ke negara-negara berkembang tapi juga mampu menembus negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa. Akibatnya, banyak industri di setiap negara yang khawatir pasar ekspornya akan berkurang. Dan mau tidak mau, setiap industri harus bersiap-siap melakukan repositioning strategi bisnisnya untuk menghadapi persaingan dengan produk Cina, tak terkecuali industri di Indonesia.Hal ini cukup mengejutkan mengingat sepuluh tahun lalu Cina masih bukan siapa-siapa dalam bidang industri. Memang dengan jumlah penduduknya yang besar Cina merupakan pasar yang menggiurkan. Tapi dalam kemajuan teknologi industri, Cina dapat dikatakan masih dalam tahap belajar dibandingkan negara-negara mau lainnya.

Template by - Abdul Munir | Daya Earth Blogger Template